Bisnis radio di Jembrana lagi lesu kalau tidak boleh dibilang mendekati bangkrut. Pengelola harus ngos-ngosan untuk mencukupi biaya operasional maupun gaji karyawan. Iklan sebagai penunjang utama hidup matinya media publik kian sulit diperoleh. Kalaupun ada pemasang, negoisasi harga menyentuh hingga batas terendah. Tak pelak, situasi ini membuat banyak radio di Jembrana hidup segan mati tak mau.
Menyambangi bagian barat Kota Negara, maka akan berjumpa dengan salah satu kantor siaran radio bernama Dirgantara FM. Berdiri sejak tahun 1977, stasiun radio ini merupakan yang tertua di Negara. Saat media hiburan dan informasi dari masyarakat masih banyak mengandalkan siaran radio, stasiun ini mengalami masa jaya. Fans maupun pemasang iklan kerap melengkapi kesibukan rutin stasiun di bilangan Jalan Udayana ini.
Tapi masa jaya itu tidak bertahan lama. Di tahun 2003, pendapatan melalui iklan mulai merosot. Manajer Radio Dirgantara, Munir menilai merosotnya pendapatan dari iklan itu sebagai imbas jumlah stasiun radio di Jembrana yang bertambah banyak. Selain dari sisi jumlah pemasang berkurang, harga iklan juga turun drastis. Menurut Munir, iklan yang dulunya Rp. 10 ribu per spot atau sekali siar kini hanya menjadi Rp. 3500. Apalagi untuk iklan lokal, harga iklannya turun sangat drastis.
“Kalau dulu kami bisa memilih iklan mana yang pantas tayang, sampai beberapa pemasang iklan terpaksa kami tolak. Kini, kami harus berjuang keras untuk mendapatkan iklan agar biaya operasional bisa berjalan lancar,” katanya.
Keluhan senada dilontarkan nyaris oleh semua pengelola stasiun radio di Kabupaten Jembrana. Sumber Harmoni di kalangan pemilik radio mengatakan, saat ini mereka sudah tidak bisa lagi berpikir soal keuntungan. “Jangankan keuntungan, bisa mencukupi biaya operasional dan gaji karyawan saja sudah syukur,” ujar salah seorang pengelola radio. Dengan kondisi itu, ia hanya tersenyum kecut saat ditanya apakah investasi stasiun itu sudah balik modal. “Jangan nanya itu, mas, terlalu jauh rasanya untuk balik modal,” ujarnya.
Sementara Gus Sade, pengelola GSM FM saat ditemui Harmoni tidak menampik jika pendapatan dari iklan menurun drastis. Ia mengungkapkan, saat ini terjadi pertarungan harga iklan yang luar biasa keras dari masing-masing pengelola radio. Bahkan pertarungan itu sudah mengarah kurang sehat karena harga iklan yang diterima tidak masuk akal. “Kayaknya yang penting dapat iklan, tidak peduli berapa pun harganya,” ujar pengelola radio FM pertama di Jembrana ini.
Sade menilai, persaingan iklan yang tidak sehat sebenarnya justru merugikan radio itu sendiri. Ia sendiri merasa beruntung karena memiliki langganan tetap dari pemasang iklan produk nasional. “Pemasang ini sudah langganan di kita sejak radio ini mulai siaran. Kami mungkin beruntung karena merupakan salah satu radio FM pertama di Jembrana,” jelasnya.
Selain GSM FM yang masih bisa bertahan dengan pelanggan iklannya, stasiun-stasiun radio lainnya mesti berjibaku dengan berbagai cara agar tetap bertahan. Ayub, salah seorang pegawai Radio Dirgantara FM mengatakan, agar bertahan pihaknya tidak hanya mengandalkan pemasukan dari iklan. Acara-acara di luar siaran seperti jumpa fans, jalan santai hingga menggelar konser musik menjadi program andalan untuk meraih pemasukan. “Acara-cara itu ditambah dengan pemasukan iklan ternyata bisa membuat stasiun radio ini tetap eksis,” jelas Ayub.
Untuk program siaran hiburan, radio ini lebih banyak memfokuskan pada menu siaran dangdut. “Banyak yang tidak menyangka kalau Dirgantara akan hidup selama ini. Dan kami optimis bahwa ini akan berlanjut sampai ke tahun-tahun berikutnya dengan program-program yang kami bisa berikan. Saya yakin radio tak akan mati. Walaupun radio menjamur, tetap saja ada orang yang mau mendirikan radio,” tambah Munir.
Inovasi dan kreativitas. Prinsip ini dipegang oleh pengelola Radio Swara Negara untuk menjaga eksistensinya di blantika penyiaran. Penanggungjawab Radio Swara Negara, Wisnu Swastika, mengungkapkan apa pun yang dilakukan oleh seluruh media harus berdasarkan dengan inovasi-inovasi yang cemerlang berlandaskan kreativitas. “Sebenarnya sama saja dengan media lain. Kalau mau eksis, ya, harus terus mempunyai program unggulan. Orang-orang di dalamnya juga harus kreatif dalam menjalankannya. Pendengar biar tidak jenuh,” paparnya.
Jika pengelola Radio Dirgantara dan Swara Negara FM masih optimis bisnis siarannya akan bertahan, tidak demikian halnya dengan pengelola STAR FM, Gede Kantika. Saat ditemui Harmoni ia mengakui ada persaingan tidak sehat dalam menjaring iklan. “Masing-masing radio menurunkan harga iklan sampai titik terendah. Ini kan tidak sehat namanya,” ujarnya. Ditanya apakah ia akan melanjutkan bisnis radio ini, Kantika menjawab akan lihat dulu kondisi ke depannya. “Sekarang kami sekedar bertahan saja agar tetap bisa siaran saja,” keluhnya.
poetry
Selengkapnya...