Jumat, 25 September 2009

IDEOLOGI PERJUANGAN BERUBAH MENJADI IDEOLOGI INDUSTRI



I Putu Gede – sebut saja demikian, pada suatu hari mencegat salah seorang wartawan Independen News di jalan. Warga masyarakat Desa Tukadaya ini, dengan mimik teramat serius meminta media ini untuk memuat berita seputar kekisruhan proses pembuatan KTP yang terjadi di desanya. “Tolong ya pak, berita ini harus dimuat! Soalnya kami warga masyarakat sudah lama menahan kesabaran untuk tidak melakukan demo kepada kepala dusun,” demikian I Putu Gede.

Tidak lama sebelumnya sekelompok warga masyarakat juga pernah mendatangi kantor redaksi Independen News dengan permintaan yang hampir sama. Sekelompok warga tersebut meminta media ini memberitakan indikasi “perbuatan korupsi” yang dilakukan kepala desanya. Mereka mengaku yakin Bupati pasti akan menindak kepala desa bersangkutan jika beritanya dimuat di koran. “Kalau tidak ditulis di koran kasusnya pasti tidak ditindaklanjuti. Kan biasanya begitu pak,” demikian warga tersebut.

Pada kesempatan yang lain, juga pernah terjadi koran-koran lokal di Bali serentak menurunkan berita perbuatan pungli di sebuah SMA Negeri di Negara. Berita tersebut bersumber dari satu atau dua orang tua siswa yang tidak setuju dengan adanya pungutan sumbangan yang ditarik oleh Komite Sekolah untuk menunjang kegiatan ekstrakurikuler. Padahal di dalam rapat wali murid sebelumnya, mayoritas orangtua murid menyatakan sanggup dan sukarela dipungut sumbangan. Tetapi seusai rapat, rupanya ada beberapa orang tua murid yang kurang setuju dan merasa keberatan dengan pungutan tersebut, menghubungi wartawan dan memberikan keterangan dengan “cukup dramatis” atas rapat wali murid sebelumnya. Kebetulan ketika wartawan yang menulis berita tersebut melakukan konfirmasi kepada pihak komite sekolah, Ketua Komite Sekolah tidak bisa dihubungi. Maka turunlah berita yang bagi pihak tertentu dianggap sangat menyudutkan tersebut.


Fenomena di atas hanyalah beberapa fakta yang ada di tengah pemahaman dan perlakuan masyarakat atas keberadaan surat kabar. Bahwa suka atau tidak, sampai saat ini sebagian besar warga masyarakat masih menganggap surat kabar hanya sebagai tempat penampungan keluh kesah dan tempat “pemuatan berita buruk”. Sebagaimana yang harus pula diakui secara jujur, bahwa isi koran-koran atau media massa terutama di jaman reformasi ini pun memang lebih banyak “berita buruknya” daripada “berita baiknya”.

Pergeseran Ideologi
Hal ini pun terungkap dalam “Seminar Peran Surat Kabar Menuju Masyarakat Informasi”, yang diselenggarakan baru-baru ini oleh BPPKI Yogyakarta bekerjasama dengan Dinas Perhubungan Informasi dan Komunikasi Kabupaten Jembrana. Salah seorang pembicara, Hendri Subiabto, bahkan mengatakan koran atau media massa saat ini justru lebih mengedepankan krisis atau konflik dalam pemberitaan-pemberitaan besarnya. “Karena memang hanya berita yang seperti itu yang laku dijual. Masyarakat lebih suka disuguhi berita buruk daripada berita yang lebih membawa optimisme. Ini fakta,” demikian Hendri.

Hendri yang juga merupakan Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informasi ini, mengatakan peran surat kabar sebagai media perjuangan saat ini sudah bergeser secara ideologi. “Jika pada jaman penjajahan dulu surat kabar berfungsi untuk mengobarkan semangat nasionalisme, sekarang telah berubah ideologi sebagai salah satu komoditas industri. Maka tidak heran isi surat kabar sekarang jarang yang mempertimbangkan efek psikologis publik pembacanya. Sekali lagi yang penting laku,” tandas Hendri.

Sementara itu pembicara lainnya Putu Wirata Dwikora mengatakan, kendati sangat kecil, peran surat kabar sebagai alat perjuangan sipil saat ini terkadang masih efektif. Ketua Bali Corruption Watch ini mencontohkan ada beberapa kebijakan pemerintah yang bisa dipengaruhi oleh surat kabar. “Kawan-kawan LSM cukup sering berhasil memperjuangkan aspirasi sipil melalui media massa atau koran. Cuma, memang harus diakui sebagian besar surat kabar yang ada saat ini lebih membela kepentingan industri daripada perjuangan sipil,” demikian Putu Wirata.

Ketika menyinggung masalah kecilnya honor para pekerja jurnalistik di Indonesia, kedua pembicara mengakui kebenaran hal tersebut. Menurut Putu Wirata hal itu juga merupakan salah satu sistem yang ada pada industri. Bahwa, para pemilik surat kabar bukannya berfikir bagaimana meningkatkan kesejahteraan wartawan dan karyawannya, tetapi bagaimana memperbesar dan menambah aset dan cabang perusahaan. “Dan hal ini pun turut menjadi penyebab bergesernya ideologi para pekerja jurnalistik. Di lapangan para wartawan sering tak berdaya menghadapi godaan ‘amplop’. Akhirnya ada pihak-pihak yang bisa membeli berita sesuai dengan kepentingannya sendiri, bukan untuk kepentingan publik yang lebih luas. Untuk menghadapi hal ini, bukannya kita harus menutup pabrik amplop, tetapi perusahaan atau pemilik surat kabar harus memperbaiki kesejahteraan wartawannya. Dengan kesejahteraan yang cukup, maka wartawan akan mampu mempertahankan idealismenya,” ujarnya sambil berkelakar.

Tendensius
Salah seorang peserta seminar yang juga seorang wartawan sebuah media lokal Bali, dalam kesempatan tanya-jawab mengungkapkan, bahwa sejatinya bagi setiap wartawan (terutama di daerah-red), sudah selalu berusaha menulis berita dengan memenuhi aspek keseimbangan (balancing). Demikian pula dengan jenis berita yang ditulis, tidak melulu “berita buruk” tetapi juga selalu menyertakan “berita baik” untuk dikirim ke meja redaksi. “Sebagai ujung tombak sebuah surat kabar di lapangan, kami sudah menyadari betul posisi, peran dan tugas kami bagi pembangunan masyarakat,” katanya.

Sementara seorang peserta yang lain, Wayan Suparsa, mengatakan pemberitaan-pemberitaan di surat kabar saat ini sebagian besar cenderung sangat tendensius di dalam memberitakan suatu peristiwa. “Apalagi jika memberitakan soal-soal di pemerintahan, masyarakat disuguhi seolah-olah tidak ada kegiatan pemerintah yang baik,” demikian Suparsa.

Jika beranjak dari tema yang diangkat dalam seminar tersebut, dapat diterka penyelenggara bertujuan untuk lebih meningkatkan apresiasi masyarakat atas keberadaan media massa khususnya surat kabar. Terlebih-lebih di jaman globalisasi ini, dimana masalah kebebasan pers selalu menjadi wacana terdepan dalam setiap obrolan mengenai dunia jurnalistik. Tentu menjadi sangat penting adanya kesepahaman antara masyarakat luas (awam) dengan masyarakat pers (dari jajaran redaksi hingga wartawan di lapangan), agar wacana kebebasan pers tidak termaknai secara sepihak. Sayangnya, dalam seminar tersebut peyelenggara justru tidak mengundang perwakilan dari masyarakat awam yang menjadi sasaran seminar.

poetry

0 Comments:

Posting Komentar